“Bagaikan
akar sebuah pohon, yang berusaha mencari makan walaupun berada di
bawah. Namun, tetap dilakukan demi menegakkan pohon supaya kokoh dan
rindang.”
Itulah
ungkapan salah seorang warga Surabaya yang diliput media, saat beliau
dimintai tanggapan tentang niatan Ibu Risma untuk mengundurkan diri
sebagai Wali Kota Surabaya.
***
Salah
satu warga dari Pulau Sumatera pun tak kalah urun pendapatnya, “Mundur
dari kursinya sebagai Wali Kota bukan keputusan yang tepat, karena
memang pihak oposisinya sengaja membuat perkara yang menjadikan Ibu
Risma ingin mundur dari jabatannya!”
Kontroversi
mundurnya Ibu Risma memang sedang marak dibicarakan di berbagai media.
Tidak hanya dibicarakan di Kota Buaya saja, namun polemik itu sudah
menjadi trending topic di berbagai wilayah Nusantara.
Begitu
banyak warga mengungkapkan kebanggaannya, sekaligus menyayangkan niatan
Ibu Risma untuk melepaskan gelar Wali Kota yang saat ini disandangnya.
Karena animo masyarakat merasakan begitu banyak perubahan positif,
semenjak Surabaya berada dalam kepemimpinannya. Namun, di sisi lain
banyaknya pertimbangan dari kondisi yang terjadi, membuat Ibu Risma
gerah dan lelah sehingga niatan mundur pun menjadi salah satu sulusi
yang mungkin akan ditempuhnya.
Wanita
kelahiran Kediri, pada hari Senin, 20 November 1961 yang memiliki nama
lengkap Ir. Tri Rismaharini M.T, atau yang lebih akrab dengan panggilan
Risma ini memang layak dicungi jempol.
Beliau
memiliki impian untuk menjadikan Kota terbesar no.2 di Indonesia ini,
sebagai kota terbaik di dunia. Dan ini bukan omong kosong. Terbukti,
selama 3 tahun masa jabatan beliau sejak tahun 2010, dengan ‘gaya khas
blusukannya’, Ibu Risma mampu membawa begitu banyak perubahan di Kota
Surabaya. 51 penghargaan pun diterima Surabaya di bawah kepemimpinannya.
Yang terhangat, Ibu Risma mendapat penghargaan “Mayor of The Month
February 2014” alias wali kota terbaik di bulan Februari 2014 dari City
Mayor Foundation. Not only that, Ibu Risma juga terpilih sebagai “Wali
Kota Terbaik Dunia” versi Citymayors.com. Amazing!
Salah
satu hal yang membuat saya terhenyak, saat membaca cerita perjalanan
beliau selama menjalankan perannya sebagai Wali Kota, beliau benar-benar
bak koboi di siang bolong. #halah.
Maksudnya,
itu untuk menggambarkan betapa lincahnya beliau saat menangani masalah
di lapangan. Tidak seperti para pemimpin pada umumnya, yang identik
dengan otoritas yang kadang hanya ‘memainkan telunjuk’ untuk
mengorganisir anggota yang berada di bawah kepemimpinannya. Dengan gaya
blusukannya tanpa media, Ibu Risma tidak risih walau harus turun tangan
untuk membersihkan gorong-gorong saat hujan lebat demi mencegah
terjadinya banjir. Tidak hanya itu, turun langsung ke lapangan untuk
mengatasi kebakaran pun beliau lakukan. Dan yang lebih extreem
lagi, beliau juga pernah turun ke jalan untuk mengatur jalannya lalu
lintas. Dan masih banyak lagi aksi turun lapangan yang sering beliau
lakukan demi totalitas kepemimpinannya di Kota Pahlawan itu.
Inilah beberapa contoh gambar aksi-aksi nekat Ibu Risma yang ter-publish oleh media
Mungkin
ada sebagian orang mengatakan tindakan beliau itu terlalu lebay. Namun,
berdasarkan penuturan yang pernah beliau utarakan di tayangan Mata
Najwa, alasan Ibu Risma turut terjun langsung seperti itu adalah untuk
percepatan agar permasalahan yang terjadi bisa segera terselesaikan.
Sehingga, masalah yang terjadi di masyarakat tidak terus menumpuk karena
keterlambatan respon dari pemerintahan. Memang alasan beliau masuk akal
dan sangat bisa diterima. #Good
Hikmah
lain yang beliau dapatkan dengan tradisi blusukan ke desa-desa,
menjadikan beliau dekat dengan warga dan beliau pun bisa mengetahui
dengan lebih cepat kondisi masyarakat yang sedang membutuhkan uluran
tangan beliau. Tak hanya itu, begitu banyak cerita yang menggerimiskan
hati yang beliau temui di masyarakat, diantaranya beberapa kisah warga
yang beliau temui dalam proyek penutupan Lokalisasi Doli.
Kisah
dan prestasi Ibu Risma mungkin sudah banyak ditulis dalam
artikel-artikel lain yang berjejer di berbagai sosmed, sehingga saya
rasa tidak perlu memperincikan di sini. Karena saat ini saya ingin
membahas tentang dilema yang sekarang ini Ibu Risma hadapi, dalam masa
jabatan yang sebenarnya belum saatnya disudahi.
Berat.
Itulah jawaban yang bisa saya baca dari sorotan mata beliau saat
ditanya tentang keputusan untuk mundur dari jajaran pemerintahan. Bukan
karena gila kehormatan. Bukan pula karena silau akan jabatan. Karena
masyarakat pun sudah merasakan bahwa selama ini beliau mampu memimpin
dengan hati. Hampir semua kebijakan pemerintah diputuskan dengan
mempertimbangkan kata hati, bukan kata orang, kata uang, atau pun kata
kepentingan golongan.
Rasa
berat yang beliau rasa, semata-mata karena memikirkan nasib anak-anak
dari kaum marginal yang selama ini beliau ayomi di masa jabatannya.
Menetes air mata Ibu Risma saat berbicara tentang masa depan mereka,
anak-anak bangsa—calon penerus dan pemegang tongkat estafet negara.
Bagaimana jadinya negara ini jika para penerusnya tidak mampu
mendapatkan hak akan pendidikannya. Jika mereka dipersulit soal
penanganan kesehatannya. Itulah satu hal besar yang menjadi ganjalan
sehingga melepaskan jabatan benar-benar menyisakan sebuah tanya yang
saat ini belum mampu dijawabnya.
Sampai
saat ini, Ibu Risma memang belum bisa memberikan janji kepada
masyarakat bahwa dirinya akan tetap bertahan ataukah benar-benar akan
melepas atribut yang disandangnya sebagai Wali Kota. Karena menurut
beliau, menjabat sebagai Wali Kota bukanlah hal yang mudah. Menjabat
Wali Kota bukan ajang mencari pamor dan popularitas. Itulah kenapa, saat
mata Indonesia melirik beliau untuk dinobatkan sebagai Capres, beliau
dengan sangat tegas mengatakan “TIDAK”. Bukan tanpa alasan, karena bagi
beliau jabatan adalah amanah yang sangat berat. Jadi, terpilih menjadi
pemimpin negara bukan hal yang bisa dijadikan ajang untuk meraih prestice.
Karena di balik jabatan itu, ada tanggungjawab yang harus ditunaikan
dengan baik. Dengan menyandang predikat itu, berarti jutaan nasib
masyarakat berada di atas pundak beliau. Dan amanah jabatan itu harus
dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah SWT.
Inilah
poin yang menunjukkan ketulusan sebuah kepemimpinan yang sangat saya
hargai. Di tengah-tengah perebutan kursi yang dilatarbelakangi tendensi
lain keduniawian, sebaliknya Ibu Risma menyingkirkan itu semua demi
kemurnian sebuah kepemimpinan.
Dari
sederetan kisah perjalanan Ibu Risma dalam mengemban amanahnya itu,
juga di tengah dilema yang saat ini menerpa beliau, mungkin hadist nabi
ini bisa menjadi sedikit pencerahan sekaligus bahan pertimbangan untuk
meneruskan langkah.
Kadang
kebenaran itu memang pahit. Namun, ibarat obat, sepahit apapun harus
kita telan demi sebuah kesembuhan dan kesehatan. Dimana saya pernah
membaca sebuah hadist yang intinya tidak diperbolehkannya wanita
memimpin sebuah negara.
لَمَّا
بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ
مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ « لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ
وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً »
“Tatkala ada berita sampai kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisro (gelar raja Persia dahulu) menjadi raja, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda, ”Tidak akan bahagia suatu kaum apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”. ” (HR. Bukhari no. 4425)
Dari hadist itu jelas dikatakan bahwa sebenarnya tidak baik jika seorang wanita memimpin sebuah negara. Begitu banyak alasannya. Diantaranya alasan yang sangat simple, karena Wanita mengalami haidh, hamil, melahirkan, dan menyusui. Lalu, jika datang waktu seperti ini, wanita akan susah melaksanakan tanggungjawabnya sebagai pemimpin. Apakah ahsan, jika seorang ibu tiba-tiba meninggalkan putri yang masih dalam masa persusuan untuk pergi berperang membela negara? #so impossible
Alasan lainnya karena wanita itu mudah putus asa dan tidak sabar. Dan kita pun mungkin setuju, jika dikatakan bahwa kaum wanita itu lebih cenderung memainkan emosional dan perasaannya dibandingkan akal dan nalarnya—walaupun mungkin tidak bisa dipukul rata bahwa semua wanita sama.
Tapi ada contoh real dan sederhana yang sering kita lihat. Ketika ada kematian atau datangnya musibah, para wanita sering merespon dulu dengan melakukan hal-hal yang kadang merusak. Misalnya: Menangis histeris, menyakiti diri sendiri, menampar pipi, memecah barang-barang, dll. Padahal seorang pemimpin haruslah memiliki sifat sabar dan tabah.
Hal itulah yang mungkin bisa menjadi jawaban, atas video kemarahan Ibu Risma yang sempat ditayangkan di media, saat beliau menghadapi beberapa ketidakberesan pekerjaan teamnya di lapangan. Beliau sendiri mengakui, kemarahan-kemarahan itu akibat menumpuknya masalah yang berada di pundak beliau. #memang bukan porsi wanita.
Bukti lain bahwa kepemimpinan wanita di negara itu tidak disarankan, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah mengangkat pemimpin (amir) dari kaum wanita. Selain itu Imam shalat tidak pernah seorang wanita, melainkan seorang laki-laki. Bahkan beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam ketika sakit tidaklah menyuruh istrinya untuk menjadi imam.
Sebenarnya masih banyak alasan-alasan lain yang bisa dijadikan sandaran agar wanita tidak menjadi pemimpin negara. Dan untuk alasan lebih lengkapnya bisa dibaca di artikel-artikel lainnya ya.
Lalu dimanakah kepemimpinan wanita?
Berdasarkan yang pernah saya baca, wanita lebih baik menjadi pemimpin di rumahnya, itu pun di bawah pengawasan suaminya. Mereka memimpin dalam hal yang khusus, terutama memelihara diri, mendidik anak dan memelihara harta suaminya. Tujuan dari ini semua, agar kebutuhan perbaikan keluarga teratasi oleh wanita, sedangkan perbaikan masyarakat nantinya dilakukan oleh kaum laki-laki. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ
فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ
أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzab: 33)
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
وَالْمَرْأَةُ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهْىَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Dan wanita menjadi pemimpin di rumah suaminya, dia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai orang yang diurusnya.” (HR. Bukhari no. 2409)
Inilah ketentuan di dalam Islam. Tentunya jika dilaksanakan, kebaikan dan kejayaan akan diraih kaum muslimin sebagaimana yang pernah dialami para Rasul, para sahabatnya, dan generasi sesudahnya. Dan hukum islam itu dibuat semata-mata untuk kebaikan umat manusia.
Pro dan kontra itu pasti selalu ada. Jadi harapannya, untuk Ibu Risma yang saat ini dalam dilema dan sedang menantikan petunjuk-Nya, semoga bisa mendapat bimbingan jalan yang lurus untuk kebaikannya dan masyarakatnya. Sehingga tidak ada lagi kata-kata terucap dari bibir beliau, “Saya sampai tidak sempat mengurus anak-anak saya sendiri karena kesibukan saya mengurus warga Surabaya.”
Dan untuk kita para wanita pada umumnya. Masih banyak sekali ruang untuk kita dalam memberikan sumbangsih untuk negara. Tidak harus mengikuti para pengikut teori sekuler yang menyuarakan hak untuk kesetaraan gender atas nama emansipasi wanita. Karena dari dalam rumah, kita pun bisa berkarya. Dari dalam rumah, kita pun bisa bermanfaat untuk negara, dunia dan agama. Dari rumah kita pun kita bisa mengubah dunia dengan pemikiran kita, tanpa meninggalkan tugas utama kita yaitu mengayomi keluarga dan mendidik anak-anak kita agar menjadi generasi yang menyejukkan mata.
Bu Risma dengan kapabilitasnya, saya yakin beliau mampu menjadi motor dan agen perubahan bagi sekitarnya. Entah itu dengan meneruskan jabatannya sebagai Wali Kota Surabaya, ataukah memutar langkah sebagai tokoh pergerakan di bidang lainnya.
Semoga Allah selalu menuntun langkahmu Ibu. I’m proud of you… :)
Artikel ini telah dipublish di Kompasiana http://sosok.kompasiana.com/2014/03/12/ibu-risma-dalam-dilema-638408.html
No comments:
Post a Comment