Namanya Thariq. Aku
mengenal dia sebagai salah satu aktivis masjid, dimana aku aktiv mengikuti
kegiatan ‘after campus’. Pernah aku menjadi ‘anak buahnya’ ketika tergabung
kepanitiaan Latihan Kepemimpinan Mahasiswa. Banyak yang memuji kecakapannya
dalam memimpin. Sabar tapi punya ketegasan. Programnya jelas dan dijalankan
dengan konsisten. Dalam kepanitiaan lain, teman2 sering mendaulatnya menjadi
pemimpin. Pantas saja dia memang berkwalitas. Namun ketikan suatu saat dia
meminta satu hal padaku, aku tidak mampu menjawabnya...
Sore itu aku berpapasan
dengan Thariq selepas shalat ashar di masjid. “Na,..bisa kita berbicara
sebentar??” sapanya. “
“Boleh, tentang apa
Riq..??” pertanyaannya menghentikan pertanyaanku di tangga. Thariq mengajakku
duduk di pinggir. Setelah terdiam sejenak, Thariq kembali bersuara, “Na, selama
ini kita sudah saling kenal dengan baik. Aku merasa ada kecocokan cara berfikir
ama kamu, Na. Kalau kamu nggak keberatan Ina...emm..mau nggak kalau kita saling
bertaaruf untuk hubungan yang lebih seriaus...?? hhmm maksudku tentu tidak
sekarang. Kita bisa menunggu sampai kita sama-sama siap..”.
Seketika itu degup
jantungku serasa terhenti beberapa detik. Aku tidak mampu menjawab sepatah
katapun. Bukankah itu sama saja dengan sebuah bentuk komitmen..??? Thariq
mengatakan semua itu dengan ketenangan yang sama ketika dia memimpin rapat.
Sedang aku yang mendapat ‘serangan’ menjadi tidak karuan. Sama sekali tidak pernah terlintas dalam
fikiranku untuk dekat dengan Thariq secara pribadi. Karena.....
Nafasku kembali
tertahan. Sebagai pribadi Thariq sangat menarik, punya banyak kelebihan, dan
aku tidak melihat adanya kekurangan yang mendasar. Tapi...ampuni aku ya
Allah...haruskah dia...???
Rupanya Thariq membaca
gejolak di fikiranku. “Kalau kamu nggak bersedia, jawab aja yang jujur Ina
supaya aku tidak berharap.”
Seketika itu aku
dilanda panik. Tidak...aku tidak mungkin menyakiti hati laki-laki sebaik
Thariq. “ Bukan...bukan seperti itu, Riq...Maksduku...aku..aku sama sekali
tidak menduga kamu bakal nanya seperti itu. Jadi..beri aku waktu untuk
memikirkannya ya...”
Ya Allah... senyum itu
begitu tulus...Padahal sejujurnya aku sudah punya jawaban, tapi aku tidak mampu
untuk mengungkapkannya. Aku belum sanggup. Setidaknya dengan alasan itu aku
punya waktu untuk memikirkannya. Memikirkan bagaimana cara terbaik untuk
berbicara pada Thariq.
Tapi...inilah
akibatnya. Berhari-hari aku dirundung gelisah. Bingung bagaimana caranya
mengucapkan kalimat penolakan. Menolak tanpa harus membuatnya kecewa. Aku tidak
sanggup menyakiti hati setulus itu. Aku perlu bicara pada seseorang. Dan aku
rasa yang paling tepat adalah pada mas Iman, kakakku.
Setelah aku ceritakan
permintaan Tariq, mas Iman terdiam agak lama. Aku tidak perlu berpanjang lebar
menceritakan siapa Tariq. Mas Iman kenal baik dengan dia. Mereka sama-sama
kuliah di jurusan teknik fisika, walau berbeda angkatan.
Mas Iman seperti
memikirkannya dengan serius. Lalu dengan terkesan hati-hati mas Iman bertanya, “jadi
kamu benar-benar nggak mau, Na..?? Kalau boleh tahu, sejujurnya apa alasan kamu
menolak..??”.
Aku terbelalak heran
dengan pertanyaan mas Iman. “Mas...mas Iman kan tahu siapa Tariq? Masa sih
menurut mas aku pantas menjadi pendamping dia...??”, tanyaku dengan nada
protes. Hanya pada mas Iman aku bisa berterus terang seperti ini.
“Kepantasan yang
seperti apa, Ina..?? Karena kamu minta pendapatku, maka aku coba untuk
melihatnya secara proporsional. Coba deh kita telaah. Apa kekurangan Thariq
sebagai calon suami...?”
Aku ternganga dengan
pertanyaan mas Iman. “Masa mas Iman gak tahu ‘kekurangan’ Thariq sih, pakai
nanya seperti itu..??” Sebelum aku berkata apa-apa, mas Iman meneruskan. “Apa
karena...hhhmm...fisiknya?? Iya Ina, kamu melihat itu sebagai kekurangan??”.
Aku mengangguk pelan. Aku benar-benar tidak tega mengakui itu.
Aku dan mas Iman
dididik dalam nilai-nilai yang sama sekali tidak membedakan sesama ciptaan
Allah, kecuali akhlaknya. Tapi,..begitu berhadapan dengan realitas yang sedikit
ekstrim dan menyentuh ranah pribadi...kenapa aku jadi sulit menerapkannya...??
Mas Iman tersenyum
penuh pengertian sambil menepuk pipiku. “Ina..Ina aku tahu kamu gadis yang
cantik. Bahkan sebagai kakakpun, aku menilai kamu gadis yang sangat menarik,
dan berotak encer. Pergaulanmu bebas. Wajar kalau kamu punya keinginan
memperoleh pendamping yang juga punya performance yang bisa dibanggakan, yang
seimbang ama kamu. Dan Thariq jauh dari itu kan...?? Aku hanya bisa memberi
nasehat, Na, ingat pedoman memilih pasangan. Kamu pasti tahu. Dan untuk
mendapat kemantapan atas keputusanmu, lakukanlah shalat istiqarah dan mohonlah
pada Allah karena hanya Dialah yang paling tahu mana yang terbaik untuk kamu.”
Aku kembali ke kamarku,
dengan kegelisahan yang sama. Mudah bagi mas Iman memberi nasehat seperti itu.
Memilih pasangan yang terbaik adalah melihat agamanya. Fisik tidak akan abadi.
Jadi apakah aku keliru kalau mendamba calon suami yang setidaknya seimbang dengan
aku? Tidak perlu keren banget, tapi setidaknya...normal, tidak cacat!
Sampai malam tetap saja
aku tidak mampu mencari jalan untuk memberi penolakan secara halus pada Thariq.
Apa aku katakan kalau sudah punya calon lain...? Tidak...terlalu kekanak-kanakan!
Kalau memang ada calon yang lain, kenapa tidak langsung aku katakan pada saat
yang sama dia meminta kesediaanku...? Ah...harusnya ketika itu aku langsung saja
bilang. Tapi sudah terlambat. Apa aku katakan kalau belum ingin berkomitment
dulu?? Harusnya alasan itu juga langsung bisa aku katakan tanpa minta waktu
untuk berfikir. Ah...tidak ada gunanya berandai-andai.
Dengan gundah aku duduk di depan cermin, tanpa bermaksud
mengaca. Aku pandangi pantulan wajahku. Lalu aku bayangkan ada Thariq di
sampingku. Tidak. Tidak mungkin. Tidak mungkin aku berdampingan dengan dia.
Benar kata mas Iman. Dengan wajah cukup menarik, wajar kalau aku berkeinginan
punya pendamping yang sepadan.
Waktu beranjak semakin
larut. Aku raih botol pembersih wajah, menuangkan isinya beberapa mili ke
telapak tangan. Rutinitas yang tiap hari aku lakukan menjelang tidur. Ketika
mengoles wajah dengan cairan pembersih, aku merasakan sedikit sakit di dagu.
Ah, ada jerawat yang bersiap nongol rupanya. Aku usap bagian yang sakit dengan
hati-hati. Tidak biasanya ada bakal jerawat sebesar ini di wajahku. Katanya
stres bisa memacu timbulnya jerawat. Wajarlah...berhari-hari aku tidak bisa
tidur nyenyak. Kenapa kulit ini jadi sensitif sekali ya? Tapi masih mendingan
dibanding Eka, yang menurut dia sendiri, jerawat sampai bingung cari tempat
tumbuh, saking banyaknya. Aku tersenyum sendiri, sambil bersyukur mengamati
kulitku yang mulus walau tidak pernah dirawat khusu di salon. Bagaimana ya
perasaan Eka kalau sedang memandang cermin..?? Bagaimana ya kalau tiba-tiba aku
punya masalah sama dengan Eka..? Wajah penuh jerawat sampai tidak ada tempat
lagi untuk berkembang biak..Apa aku masih bisa bangga dengan wajahku?? Masih
pe-de mengatakan pengen punya pendamping yang sepadan...?? Dan Thariq...???
Tiba-tiba bayangan
Thariq muncul di kepalaku. Badannya yang jauh lebih pendek dibanding laki-laki
pada umumnya, kakinya yang tidak sempurna...yang membuat jalannya pincang...Tentu dia tidak ingin
seperti itu. Bukannya dia dan kita manusia tidak bisa memilih, untuk menjadi
cantik atau ganteng, normal atau kurang sempurna? Kalau boleh memilih, mungkin
semua orang ingin berpenampilan seperti Nicole Kidman atau Brad Pitt. Apa pun,
harusnya kita syukuri sebagai karunia Allah. Pasti ada maksud di balik rahasia
penciptaan tiap makhluk-Nya. Kenapa aku begitu tidak adil menilai Thariq...??
Ingatan tentang Thariq menggulung-gulung seperti air bah. Thariq yang sabar.
Thariq yang tidak pernah bicara kasar. Thariq yang tegas. Thariq yang selalu
menjadi pendengar yang baik. Thariq yang sopan. Thariq yang penuh
tanggungjawab. Apa yang kurang...?? Apakah fisiknya yang pendek dan kakinya yang
pincang itu kekuranganya...?? Siapakah aku, yang begitu mudah menilai itu
sebagai kekurangan? Sebiji jerawat saja aku tidak punya kuasa untuk menolak
kemunculannya...
Seketika aku bisa menjawab
permintaan Thariq, tanpa harus mencari-cari alasan. Aku raih handphone dan
mencari nomornya di memori lalu menelponnya. Tidak terjawab. Mungkin sudah
tidur dan handphone dimatikan. Memang sudah malam, jam sebelas kurang sedikit.
Selepas subuh, kembali aku
hubungi Thariq. Lagi-lagi di luar service area. Tidak mungkin kalau dia belum
bangun. Atau lupa belum menghidupkan hp-nya? Jam tujuh kembali aku menelepon,
masih tetap tidak tersambung. Jam delapan. Jam sepuluh. Jam sebelas...
Sebelum waktu zuhur,
aku bergegas ke sekretariat masjid. Ternyata Thariq sedang ke Lembang,
mengunjungi desa binaannya. Mungkin kembali dua hari lagi. Itu informasi yang
disampaikan Luki. Tapi kenapa hapenya mati..??
Mas Iman mentertawakan
kegelisahanku. ”Ina..Ina..kemarin kamu bingung cara menolaknya, sekarang kamu
bingung mencarinya. Jangan-jangan kamu sudah jatuh cinta ya...?? Ati-ati, cinta
sebelum halal banyak godaannya..”. Aku diam saja, tidak ingin menanggapi
ledekan mas Iman.
Dengan masih diliputi
rasa gelisah karena belum berhasil menghubungi Thariq, aku dan mas Iman harus
ke Bogor. Eyang sakit. Walau sedang menunggui eyang yang lagi berbaring di
rumah sakit, ingatanku tidak bisa lepas dari Thariq. Hp-nya belum juga aktif.
Mungkin dia belum kembali dari Lembang.
Bogor diguyur hujan
yang tidak terlalu deras, tapi tidak kunjung berhenti sejak sore. Aku duduk di
teras belakang rumah bude. Sudah jam sepuluh, tapi mata ini belum juga mau
berdamai dengan bantal. Sayup terdengar alunan orang mengaji, ditingkahi suara
gemercik hujan. Suara itu mengingatkanku pada seseorang. Suara itu memberi rasa
damai. Esok malamnya, suara yang sama kembali terdengar. Juga sehari setelah
itu. Suara yang membuat damai itu membuat aku agak penasaran.
“Bude, yang suka ngaji
malam-malam itu siapa sih..??, tanyaku pada Bude. “Siapa ya, Na? Bude nggak
merhatiin. Dari sebelah mana kamu dengar?”. “Sepertinya dari rumah belakang”, “Oo...mungkin
dari rumah Haji Ali. Oh ya...Na, bude jadi ingat...tolong beliin tisu ama
baksem di toko Haji Ali dong. Balsem eyang habis. Biar nanti kalau kita ke
rumah sakit nggak perlu mampir-mampir lagi”.
Segera aku berangkat ke
toko Haji Ali, langganan Bude sejak dulu. Aku beli pesanan bude dan beberapa
kantong camilan. Baru dua langkah aku meninggalkan toko ketika sebuah suara yang
tidak asing tiba-tiba terdengar dari samping, memanggil namaku, “Ina...??”. Aku menoleh pada arah datangnya suara itu.
Thariq! Seketika aku dihinggapi perasaan salah tingkah. Aneh. Padahal selama
ini, hampir setiap hari bertemu dengan dia, berada dalam ruangan yang sama
dengan dia...kenapa tiba-tiba aku begini gugup...??” Kamu kok ada di sini, Ina?”,
tanyanya heran. “Em...iya...aku...aku lagi nginap di rumah Bude. Eyang lagi
sakit”, jawabku sambil menunjuk ke arah tempat tinggal kakak mama. “Dan kamu
sendiri? Luki bilang kamu lagi di lembang...??” Thariq tersenyum. “Rupanya kamu
nyariin aku juga, Na? Iya, aku di Lembang tiga hari, lalu ke sini. Ini rumah
paman”.
Tiba-tiba aku tergoda
menanyakan sesuatu. “Riq...apa yang semalam tadarusan itu kamu?”. Thariq
mengangguk. “Iya. Kenapa Na? Kedengeran ya dari rumah budemu? Apa aku
mengganggumu?”. Cepat-cepat aku
menggeleng, “Enggak Riq, sama sekali nggak ganggu”. Lalu kami sama-sama
terdiam. “Em...Na...gimana tentang...permintaanku ama kamu? Apa kamu sudah
memikirkannya?”. Aku menunduk malu. “Riq...aku...aku belum
pernah dekat dengan laki-laki. Aku juga nggak mungkin pacaran...”. Belum habis
aku berkata, Tariq memotongnya. “Ina...aku mengenal kamu dengan baik. Aku juga
tahu kita nggak mungkin pacaran. Aku juga nggak mau mengundang fitnah. Aku
hanya ingin kita punya komitmen aja, Na. Sampai nanti kita sama-sama siap...”.
Aku pandangi wajah
Thariq. Mata kami bertatapan sesaat. Aku lihat ada kedamaian terpancar di sana,
sedamai suaranya ketika mengalunkan ayat-ayat suci. Kami sama-sama tersenyum.
Aku tidak perlu menjawabnya, karena aku yakin Thariq sudah tahu sendiri
jawabanku.
Surabaya, 10 April 2007
utamijuli@yahoo.co.uk
No comments:
Post a Comment