Assalamu'alaikum

Tiada kesempurnaan hari tanpa dimulai dengan pagi...Tiada kesempurnaan ibadah tanpa dimulai dengan Bismillah...Tiada kesempurnaan lisan tanpa di Mulai dengan Tersenyum ^___^ Assalamu'alaikum..Selamat berlayar di samudra Inspirasiku...Semoga sedikit yang aku tuang bisa bermanfaat untuk semua...Salam Persahabatan...^____^




Sunday, September 18, 2011

DIAKAH...???


            Namanya Thariq. Aku mengenal dia sebagai salah satu aktivis masjid, dimana aku aktiv mengikuti kegiatan ‘after campus’. Pernah aku menjadi ‘anak buahnya’ ketika tergabung kepanitiaan Latihan Kepemimpinan Mahasiswa. Banyak yang memuji kecakapannya dalam memimpin. Sabar tapi punya ketegasan. Programnya jelas dan dijalankan dengan konsisten. Dalam kepanitiaan lain, teman2 sering mendaulatnya menjadi pemimpin. Pantas saja dia memang berkwalitas. Namun ketikan suatu saat dia meminta satu hal padaku, aku tidak mampu menjawabnya...


Sore itu aku berpapasan dengan Thariq selepas shalat ashar di masjid. “Na,..bisa kita berbicara sebentar??” sapanya. “

“Boleh, tentang apa Riq..??” pertanyaannya menghentikan pertanyaanku di tangga. Thariq mengajakku duduk di pinggir. Setelah terdiam sejenak, Thariq kembali bersuara, “Na, selama ini kita sudah saling kenal dengan baik. Aku merasa ada kecocokan cara berfikir ama kamu, Na. Kalau kamu nggak keberatan Ina...emm..mau nggak kalau kita saling bertaaruf untuk hubungan yang lebih seriaus...?? hhmm maksudku tentu tidak sekarang. Kita bisa menunggu sampai kita sama-sama siap..”.

Seketika itu degup jantungku serasa terhenti beberapa detik. Aku tidak mampu menjawab sepatah katapun. Bukankah itu sama saja dengan sebuah bentuk komitmen..??? Thariq mengatakan semua itu dengan ketenangan yang sama ketika dia memimpin rapat. Sedang aku yang mendapat ‘serangan’ menjadi tidak karuan.  Sama sekali tidak pernah terlintas dalam fikiranku untuk dekat dengan Thariq secara pribadi. Karena.....

Nafasku kembali tertahan. Sebagai pribadi Thariq sangat menarik, punya banyak kelebihan, dan aku tidak melihat adanya kekurangan yang mendasar. Tapi...ampuni aku ya Allah...haruskah dia...???

Rupanya Thariq membaca gejolak di fikiranku. “Kalau kamu nggak bersedia, jawab aja yang jujur Ina supaya aku tidak berharap.”

Seketika itu aku dilanda panik. Tidak...aku tidak mungkin menyakiti hati laki-laki sebaik Thariq. “ Bukan...bukan seperti itu, Riq...Maksduku...aku..aku sama sekali tidak menduga kamu bakal nanya seperti itu. Jadi..beri aku waktu untuk memikirkannya ya...”

Ya Allah... senyum itu begitu tulus...Padahal sejujurnya aku sudah punya jawaban, tapi aku tidak mampu untuk mengungkapkannya. Aku belum sanggup. Setidaknya dengan alasan itu aku punya waktu untuk memikirkannya. Memikirkan bagaimana cara terbaik untuk berbicara pada Thariq.

Tapi...inilah akibatnya. Berhari-hari aku dirundung gelisah. Bingung bagaimana caranya mengucapkan kalimat penolakan. Menolak tanpa harus membuatnya kecewa. Aku tidak sanggup menyakiti hati setulus itu. Aku perlu bicara pada seseorang. Dan aku rasa yang paling tepat adalah pada mas Iman, kakakku.

Setelah aku ceritakan permintaan Tariq, mas Iman terdiam agak lama. Aku tidak perlu berpanjang lebar menceritakan siapa Tariq. Mas Iman kenal baik dengan dia. Mereka sama-sama kuliah di jurusan teknik fisika, walau berbeda angkatan.

Mas Iman seperti memikirkannya dengan serius. Lalu dengan terkesan hati-hati mas Iman bertanya, “jadi kamu benar-benar nggak mau, Na..?? Kalau boleh tahu, sejujurnya apa alasan kamu menolak..??”.

Aku terbelalak heran dengan pertanyaan mas Iman. “Mas...mas Iman kan tahu siapa Tariq? Masa sih menurut mas aku pantas menjadi pendamping dia...??”, tanyaku dengan nada protes. Hanya pada mas Iman aku bisa berterus terang seperti ini.

“Kepantasan yang seperti apa, Ina..?? Karena kamu minta pendapatku, maka aku coba untuk melihatnya secara proporsional. Coba deh kita telaah. Apa kekurangan Thariq sebagai calon suami...?”

Aku ternganga dengan pertanyaan mas Iman. “Masa mas Iman gak tahu ‘kekurangan’ Thariq sih, pakai nanya seperti itu..??” Sebelum aku berkata apa-apa, mas Iman meneruskan. “Apa karena...hhhmm...fisiknya?? Iya Ina, kamu melihat itu sebagai kekurangan??”. Aku mengangguk pelan. Aku benar-benar tidak tega mengakui itu.

Aku dan mas Iman dididik dalam nilai-nilai yang sama sekali tidak membedakan sesama ciptaan Allah, kecuali akhlaknya. Tapi,..begitu berhadapan dengan realitas yang sedikit ekstrim dan menyentuh ranah pribadi...kenapa aku jadi sulit menerapkannya...??

Mas Iman tersenyum penuh pengertian sambil menepuk pipiku. “Ina..Ina aku tahu kamu gadis yang cantik. Bahkan sebagai kakakpun, aku menilai kamu gadis yang sangat menarik, dan berotak encer. Pergaulanmu bebas. Wajar kalau kamu punya keinginan memperoleh pendamping yang juga punya performance yang bisa dibanggakan, yang seimbang ama kamu. Dan Thariq jauh dari itu kan...?? Aku hanya bisa memberi nasehat, Na, ingat pedoman memilih pasangan. Kamu pasti tahu. Dan untuk mendapat kemantapan atas keputusanmu, lakukanlah shalat istiqarah dan mohonlah pada Allah karena hanya Dialah yang paling tahu mana yang terbaik untuk kamu.”

Aku kembali ke kamarku, dengan kegelisahan yang sama. Mudah bagi mas Iman memberi nasehat seperti itu. Memilih pasangan yang terbaik adalah melihat agamanya. Fisik tidak akan abadi. Jadi apakah aku keliru kalau mendamba calon suami yang setidaknya seimbang dengan aku? Tidak perlu keren banget, tapi setidaknya...normal, tidak cacat!

Sampai malam tetap saja aku tidak mampu mencari jalan untuk memberi penolakan secara halus pada Thariq. Apa aku katakan kalau sudah punya calon lain...? Tidak...terlalu kekanak-kanakan! Kalau memang ada calon yang lain, kenapa tidak langsung aku katakan pada saat yang sama dia meminta kesediaanku...? Ah...harusnya ketika itu aku langsung saja bilang. Tapi sudah terlambat. Apa aku katakan kalau belum ingin berkomitment dulu?? Harusnya alasan itu juga langsung bisa aku katakan tanpa minta waktu untuk berfikir. Ah...tidak ada gunanya berandai-andai.

Dengan gundah aku  duduk di depan cermin, tanpa bermaksud mengaca. Aku pandangi pantulan wajahku. Lalu aku bayangkan ada Thariq di sampingku. Tidak. Tidak mungkin. Tidak mungkin aku berdampingan dengan dia. Benar kata mas Iman. Dengan wajah cukup menarik, wajar kalau aku berkeinginan punya pendamping yang sepadan.

Waktu beranjak semakin larut. Aku raih botol pembersih wajah, menuangkan isinya beberapa mili ke telapak tangan. Rutinitas yang tiap hari aku lakukan menjelang tidur. Ketika mengoles wajah dengan cairan pembersih, aku merasakan sedikit sakit di dagu. Ah, ada jerawat yang bersiap nongol rupanya. Aku usap bagian yang sakit dengan hati-hati. Tidak biasanya ada bakal jerawat sebesar ini di wajahku. Katanya stres bisa memacu timbulnya jerawat. Wajarlah...berhari-hari aku tidak bisa tidur nyenyak. Kenapa kulit ini jadi sensitif sekali ya? Tapi masih mendingan dibanding Eka, yang menurut dia sendiri, jerawat sampai bingung cari tempat tumbuh, saking banyaknya. Aku tersenyum sendiri, sambil bersyukur mengamati kulitku yang mulus walau tidak pernah dirawat khusu di salon. Bagaimana ya perasaan Eka kalau sedang memandang cermin..?? Bagaimana ya kalau tiba-tiba aku punya masalah sama dengan Eka..? Wajah penuh jerawat sampai tidak ada tempat lagi untuk berkembang biak..Apa aku masih bisa bangga dengan wajahku?? Masih pe-de mengatakan pengen punya pendamping yang sepadan...?? Dan Thariq...???

Tiba-tiba bayangan Thariq muncul di kepalaku. Badannya yang jauh lebih pendek dibanding laki-laki pada umumnya, kakinya yang tidak sempurna...yang membuat jalannya pincang...Tentu dia tidak ingin seperti itu. Bukannya dia dan kita manusia tidak bisa memilih, untuk menjadi cantik atau ganteng, normal atau kurang sempurna? Kalau boleh memilih, mungkin semua orang ingin berpenampilan seperti Nicole Kidman atau Brad Pitt. Apa pun, harusnya kita syukuri sebagai karunia Allah. Pasti ada maksud di balik rahasia penciptaan tiap makhluk-Nya. Kenapa aku begitu tidak adil menilai Thariq...?? Ingatan tentang Thariq menggulung-gulung seperti air bah. Thariq yang sabar. Thariq yang tidak pernah bicara kasar. Thariq yang tegas. Thariq yang selalu menjadi pendengar yang baik. Thariq yang sopan. Thariq yang penuh tanggungjawab. Apa yang kurang...?? Apakah fisiknya yang pendek dan kakinya yang pincang itu kekuranganya...?? Siapakah aku, yang begitu mudah menilai itu sebagai kekurangan? Sebiji jerawat saja aku tidak punya kuasa untuk menolak kemunculannya...

Seketika aku bisa menjawab permintaan Thariq, tanpa harus mencari-cari alasan. Aku raih handphone dan mencari nomornya di memori lalu menelponnya. Tidak terjawab. Mungkin sudah tidur dan handphone dimatikan. Memang sudah malam, jam sebelas kurang sedikit.

Selepas subuh, kembali aku hubungi Thariq. Lagi-lagi di luar service area. Tidak mungkin kalau dia belum bangun. Atau lupa belum menghidupkan hp-nya? Jam tujuh kembali aku menelepon, masih tetap tidak tersambung. Jam delapan. Jam sepuluh. Jam sebelas...

Sebelum waktu zuhur, aku bergegas ke sekretariat masjid. Ternyata Thariq sedang ke Lembang, mengunjungi desa binaannya. Mungkin kembali dua hari lagi. Itu informasi yang disampaikan Luki. Tapi kenapa hapenya mati..??

Mas Iman mentertawakan kegelisahanku. ”Ina..Ina..kemarin kamu bingung cara menolaknya, sekarang kamu bingung mencarinya. Jangan-jangan kamu sudah jatuh cinta ya...?? Ati-ati, cinta sebelum halal banyak godaannya..”. Aku diam saja, tidak ingin menanggapi ledekan mas Iman.

Dengan masih diliputi rasa gelisah karena belum berhasil menghubungi Thariq, aku dan mas Iman harus ke Bogor. Eyang sakit. Walau sedang menunggui eyang yang lagi berbaring di rumah sakit, ingatanku tidak bisa lepas dari Thariq. Hp-nya belum juga aktif. Mungkin dia belum kembali dari Lembang.

Bogor diguyur hujan yang tidak terlalu deras, tapi tidak kunjung berhenti sejak sore. Aku duduk di teras belakang rumah bude. Sudah jam sepuluh, tapi mata ini belum juga mau berdamai dengan bantal. Sayup terdengar alunan orang mengaji, ditingkahi suara gemercik hujan. Suara itu mengingatkanku pada seseorang. Suara itu memberi rasa damai. Esok malamnya, suara yang sama kembali terdengar. Juga sehari setelah itu. Suara yang membuat damai itu membuat aku agak penasaran.

“Bude, yang suka ngaji malam-malam itu siapa sih..??, tanyaku pada Bude. “Siapa ya, Na? Bude nggak merhatiin. Dari sebelah mana kamu dengar?”. “Sepertinya dari rumah belakang”, “Oo...mungkin dari rumah Haji Ali. Oh ya...Na, bude jadi ingat...tolong beliin tisu ama baksem di toko Haji Ali dong. Balsem eyang habis. Biar nanti kalau kita ke rumah sakit nggak perlu mampir-mampir lagi”.

Segera aku berangkat ke toko Haji Ali, langganan Bude sejak dulu. Aku beli pesanan bude dan beberapa kantong camilan. Baru dua langkah aku meninggalkan toko ketika sebuah suara yang tidak asing tiba-tiba terdengar dari samping, memanggil namaku, “Ina...??”.  Aku menoleh pada arah datangnya suara itu. Thariq! Seketika aku dihinggapi perasaan salah tingkah. Aneh. Padahal selama ini, hampir setiap hari bertemu dengan dia, berada dalam ruangan yang sama dengan dia...kenapa tiba-tiba aku begini gugup...??” Kamu kok ada di sini, Ina?”, tanyanya heran. “Em...iya...aku...aku lagi nginap di rumah Bude. Eyang lagi sakit”, jawabku sambil menunjuk ke arah tempat tinggal kakak mama. “Dan kamu sendiri? Luki bilang kamu lagi di lembang...??” Thariq tersenyum. “Rupanya kamu nyariin aku juga, Na? Iya, aku di Lembang tiga hari, lalu ke sini. Ini rumah paman”.

Tiba-tiba aku tergoda menanyakan sesuatu. “Riq...apa yang semalam tadarusan itu kamu?”. Thariq mengangguk. “Iya. Kenapa Na? Kedengeran ya dari rumah budemu? Apa aku mengganggumu?”. Cepat-cepat aku menggeleng, “Enggak Riq, sama sekali nggak ganggu”. Lalu kami sama-sama terdiam. “Em...Na...gimana tentang...permintaanku ama kamu? Apa kamu sudah memikirkannya?”. Aku menunduk malu. “Riq...aku...aku belum pernah dekat dengan laki-laki. Aku juga nggak mungkin pacaran...”. Belum habis aku berkata, Tariq memotongnya. “Ina...aku mengenal kamu dengan baik. Aku juga tahu kita nggak mungkin pacaran. Aku juga nggak mau mengundang fitnah. Aku hanya ingin kita punya komitmen aja, Na. Sampai nanti kita sama-sama siap...”.

Aku pandangi wajah Thariq. Mata kami bertatapan sesaat. Aku lihat ada kedamaian terpancar di sana, sedamai suaranya ketika mengalunkan ayat-ayat suci. Kami sama-sama tersenyum. Aku tidak perlu menjawabnya, karena aku yakin Thariq sudah tahu sendiri jawabanku.

Surabaya, 10 April 2007
utamijuli@yahoo.co.uk


No comments:

Post a Comment

Download